Selasa, 05 Februari 2013

TERSESAT DALAM GELAP

( Di pelajaran bahasa indonesia kala itu, kami ditugaskan membuat sebuah cerpen dalam waktu satu jam. Lumayan bikin tangan pegel... )


         Santi terduduk dalam rengkuhan gelap. Di kamar yang gelap, penuh dengan ribuan sesak keluh kesah. Malam menemaninya, berharap santi akan menumpahkan segala rasanya. Tapi ia hanya diam, kaku dan termangu. Rambutnya berantakan, wajahnya kosong menatap jauh ke ujung penjuru. Ia layaknya mayat hidup. Di genggaman tangannya sebuah kertas telah remuk. Detak jantungnya saling berpacu dengan detak jam yang memburu.
      Detik itu, kembali dibukanya kertas itu.
Dengan segala keberanian yang tersisa dibukanya kembali remukan kertas itu. Kertas itu layaknya sebuah potongan koran, namun kini tak lagi terbaca karena telah luluh akibat air matanya saat pertama kali ia membaca berita itu. Sesungguhnya ketika memandang kertas itu, ia tak membacanya. Karena tiap huruf di berita tersebut melekat dengan erat di otak dan hatinya. Tetapi ia masih tak bisa mencerna apa yang sesungguhnya terjadi. Bukannya tak mengerti, tapi ia takut untuk mengerti. Berharap apa yang diterimanya hari ini hanya mimpi buruk yang tak akan pernah terjadi. Di meja riasnya sebuah amplop dan surat pun tak berbeda keadaannya dengan potongan koran itu. Remuk, hancur, seperti luka santi kini. Santi kini masih beku. Mencoba meyakinkan dirinya. Meski ia tahu ini larangan tuhan, tapi batinnya telah rapuh. Ia yakinkan lagi dirinya. Digoreskannya benda itu ke pergelangan tangannya, hingga kemudian yang ada hanya gelap.
      Dalam dunianya yang samar-samar, semuanya seperti juntaian film di benaknya. Pagi tadi, diterimanya sebuah surat. Dari luar negeri. Hatinya girang, karena ia tahu persis dari mana surat itu berasal. Namun kali ini berbeda, tulisan di sampul amplop itu tidak seperti dari orang yang mengirimnya surat selama ini. Bukan dari tangan lembut yang dulu selalu setia membelainya dan mendengarkan keluh kesahnya. Ibunya. Setelah ia baca, ternyata itu tetangga ibunya. Ia tahu sebab ia pernah tinggal disana beberapa tahun. Meski butuh waktu untuk mengingatnya, tapi kini ia yakin. Satu hal yang dibingungkannya untuk apa tetangga ibunya mengiriminya surat, kenapa bukan ibunya ? Tak terbersit perasaan buruk sedikit pun. Ia mencoba untuk berpikir positif.
      Ibunya adalah alasan ia hidup. Meski badai datang silih berganti, ia tak gentar. Hanya senyum yang ditebarnya. Meski ia tahu kadang ibunya sering menangis dalam diam ketika ia tidur. Detik ia menerima surat itu, dunia serasa runtuh dan berada di pundaknya. Luluh, kaku, hancur. Ibunya telah meninggal, setelah sebelumnya dirampok. Koran itu berisi berita tentang kematian ibunya, dalam sebuah bahasa yang tak asing lagi bagi dirinya. Di negeri eiffel itu, sandaran hidup dan desahan napasnya telah kembali ke sisi tuhan.
      Santi mencoba membuka matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit berwarna putih, Tidak, kamarnya bercat hijau-warna favoritnya- ini bukan di kamarnya. Ia menatap jauh. Jauh hingga menembus cakrawala. Ia malu, karena ia sadar betul tindakan yang dilakukannya tak lebih dari perbuatan bodoh. Tapi ia juga bersyukur, karena tuhan masih mengijinkannya bernapas. Dalam hati ia minta ampun berkali-kali. Ia tersadar kalau ia belum sholat. Dengan bantuan perawat, Ia menghadap Sang Pencipta, meminta ampun atas dosa tak terperi dan mensucikan diri.


6 Desember 2012
di kamis yang damai...

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar