Senin, 04 Februari 2013

Tumpahan di Malam Kelabu

Hari-hari ini persis sama seperti tiga tahun lalu. Mungkin hanya angka yang berubah. "apa mimpimu?" "apa cita-citamu?" tak ada yang bisa kujawab selain gelengan dan  senyuman. Tiga tahun yang lalu, ah tidak, lima tahun  yang lalu pun aku masih seperti ini. Namun satu hal yang membuatnya berbeda.
Lima tahun lalu, hatiku masih penuh dengan mimpi, dengan peta khayalan masa depan. Disaat siswa kelas satu smp lainnya berkutat dengan soal mid dan semester, aku telah menjangkau soal snmptn, simak ui, psikotes, tes cpns, dan yang lainnya. Sedikit gila memang, tapi kurasa masih jauh lebih normal dari aku yang sekarang. Saat itu, aku telah punya desain akan perusahaanku, sekolah dan rumah sakit yang akan kubangun, bahkan desain perabotan rumah masa depanku saja sudah ada. Aku memang selalu berpikir jauh diatas umurku, mengakibatkan aku lebih suka berbincang dengan orang yang berpikiran dewasa. Tapi itu dulu. Tidak lagi sampai aku membuang dan mengubur semuanya dalam-dalam. Hari itu, satu kalimat perintah yang lebih terdengar seperti petir yang menyambar hatiku terlontar. Aku dulu seorang anak 13 tahun. Tak berdaya. Lemah. Tak punya kuasa apa-apa, bahkan terhadap diriku sendiri. Aku laksanakan perintah itu dengan ikhlas. Terdampar disini. Sampai saat ini, setelah tiga tahun pun sakitnya masih sama. Melihat orang-orang berseragam sekolah menengah itu, aku masih menangis. Jika dulu fisik dan hatiku menangis, namun sekarang hanya hatiku yang akan menangis. Sejujurnya kala itu aku masih berontak. Bukan karena keegoisanku, tapi karena mereka meremehkan dan menjelekkan mimpiku. Aku tahu itu bukan alasan awalnya, melainkan  hanya karena masalah klasik. Dan akhirnya aku membuang semua cerita hidupku, hingga yang tersisa hanya kekosongan dan gelap. satu semester awal kujalani dengan hal yang membuat mereka bangga. Namun  yang tak kalah membuatku perih adalah kenyataan bahwa mereka juga meremehkan hal yang mereka dulu perintahkan padaku. Setiap harinya kulalui dengan mental yang semakin terpuruk. Lalu mimpiku dulu? jangan tanyakan lagi, itu sudah berakhir. Hingga sekarang aku menemukan hal yang ingin kulakukan lagi. Dan mereka mengatakan bahwa aku boleh melakukannya. Namun di detik akhir, perijinan dicabut. Hingga aku berpikir, apakah aku tak dapat melakukan yang menunjukkan siapa aku? tiga tahun aku bertahan disini tetapi kenapa masih harus bertambah dengan perih empat tahun lagi? atau mungkin selamanya? jadi apa nasibku bahkan sudah di tentukan sebelum aku dapat memikirkannya?
Seorang teman berkata padaku,"enak yah kamu, nggak tau mau jadi apa aja tetep pinter". jika saja aku dapat meneriakkan semua ini padanya "kamu gak tau kan sakitnya punya mimpi itu gimana? hal yg kamu jalani sekarang adalah faseku lima tahun lalu!". Hari ini dengan harapan pada Tuhan agar aku dapat merasakan apa itu passion sesungguhnya dan menjalaninya, semoga. Bukan hanya menangis ketika orang bertanya,"kemana kamu akan melangkah setelah dari sini".

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar