Selasa, 11 Desember 2012

Natsu no Yuki #part3

             Yuki mematut dirinya di cermin. Terlalu banyak yang ia lalui hari ini. Lagi-lagi ia menarik napas dalam-dalam, perlahan-lahan di hembuskannya bersama semua beban yang ada. Ini bukanlah hal ringan bagi dirinya, meski ini bukan yang pertama kali. Menginjakkan kaki di negeri sakura ini juga bukanlah hal mudah. Begitu sampai di airport kenangan akan masa lalu berputar di benaknya, menusuk jiwanya dan kembali menggores hatinya. Kalau bukan karena perintah orang itu tak akan sudi ia kembali kesini.
Kala itu satu bulan yang lalu, di apartemennya yang damai pukul tiga pagi ponselnya memekik nyaring. Padahal baru tiga puluh menit yang lalu ia terlelap karena harus menyeleseikan tugas kampusnya. Ia bahkan sudah akan membanting ponselnya ketika ia menemukan bahwa itu panggilan internasional. Nomor yang tak ia kenal, namun kode negara ini sudah tak asing laginya. Matanya terlonjak, ia tahu persis dari mana panggilan ini berasal. Bukan dari keluarganya yang pasti, karena ia sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Panggilan itu dari organisasinya. Sudah empat tahun ia tak aktif lagi di organisasi, biasanya jika ada informasi hanya akan dikirimkan via email. Hanya ada dua keungkinan jika mendapat telepon dari "rumah"nya, ia akan direkrut atau ada sebuah misi rahasia. Pilihan pertama sudah pasti bukan, karena meskipun tak aktif lagi ia masih anggota yang diakui. Sekalipun tak turun tangan, tapi pemikirannya masih seringkali diminta untuk misi tertentu. Dan menelpon sepagi ini untuk sebuah misi menandakan ia akan mendapat tugas yang mengancam nyawanya. Pikirannya buyar, ponselnya masih berdering. Segera ia angkat. Tak ada jawaban. Segera ia bersuara. "sakura 12009102", ucapnya tergagap. Hening beberapa saat, kemudian terdengar suara "verifikasi suara selesai". Sejurus kemudian hening lagi, hingga kemudian terdengar suara, inilah suara yang ia tunggu-tunggu. Atas perintah orang inilah ia tak bisa melanjutkan tidurnya lagi. "Harap segera pulang ke rumah besok pagi! Ayahanda rindu ingin bertemu", ucap suara itu. Baru ia ingin bersuara, telepon telah terputus. Jelas ia tahu maksud kalimat itu dengan pasti. Pemakaian kata rumah seringkali dipakai untuk mewakili markasnya. Sementara ayahanda yang dimaksud sudah pasti bosnya. Perintah itu jelas. Ia disuruh ke jepang esok harinya. Ia kalut. Bagaimana dengan kuliahnya? Jika ini tugas penting pastinya tak akan memakan waktu yang sebentar. Tapi ia tak bisa tawar menawar lagi, itu perintah dan bukan penawaran. Akhirnya dimantapkannya hatinya untuk terbang ke negara dimana ia berada kini. Begitu sampai disini pun ia tak langsung diberi tahu tugasnya. Ia disuruh menunggu, hal yang paling ia benci. Dan tak main-main, ia menunggu satu bulan hingga saat ini tiba. Ia menjalani hidup di sebuah apartemen dan bekerja part time disebuah cafe. Mereka bilang ia harus menjalani pengamatan perilaku dan adaptasi lingkungan dahulu sebelum di putuskan bisa atau tidak mengemban tugas ini, karena ia telah non aktif selama empat tahun. Hingga akhirnya di putuskan ia lulus, barulah ia diterima dengan resmi dan "dicegat" seperti yang ia alami tadi di halte.
   Ketukan pintu membuyarkan lamunannya, "Anda diminta ke ruangan hatake sekarang", ucap seorang pegawai muda ketika ia membuka pintu. Seketika ia lalu beranjak pergi. "ke tempat hatake? bukankah harusnya aku menghadap bos sekarang?",batinnya. Hatake adalah nama asli dari pamannya yang bersandikan kawaii. Akhirnya ia berjalan dengan langkah yang di tegap-tegapkannya. Ia gelisah dan takut, bahkan lebih takut daripada ketika ia harus mengejar penjambret tasnya dan menghadapi mereka lima lawan satu sewaktu di Jakarta dulu. Lima pria berbadan besar bersama senjata tajam melawan seorang wanita bertangan kosong, paling-paling yang ia miliki ketika itu hanyalah gunting kuku. Meski beladiri yang ia miliki lumayan, tapi kalau keroyokan tetap saja ia akan kalah. Apalagi mereka membawa pisau dan yang lainnya. Untunglah otaknya loading dengan cepat. Tanpa mereka ketahui yuki menghidupkan nada patroli polisi di ponselnya, untungnya pula ponselnya ketika itu ada di saku. Jadilah ketika itu mereka lengah, dan dengan sekuat tenaga ia meraih tasnya dari salah seorang mereka sampai pria itu terjatuh. Tentu saja mereka ingin membalas, tapi insting bertahan hidupnya lebih kuat sehingga mereka kabur dengan cepat. "otak memang bisa mengalahkan otot, haha", batinnya ketika itu.
     Yuki berjalan menyusuri lorong-lorong. Bunyi langkah sepatunya bahkan kalah jauh dari bunyi detak jantungnya. Yuki bahkan merasa jantungnya sudah mau keluar. Rasanya ia tak ingin sampai ke ruangan pamannya. Biarlah ia hanya menyusuri lorong-lorong ini sepanjang umurnya, pikirnya. Akhirnya ia sampai di depan sebuah pintu. Ia takut, gelisah, risau, namun juga penasaran. Dipegangnya gagang pintu itu setelah menarik napas panjang berulang kali. Detik itu perjalanan hidupnya dimulai. Sakit, derita, bahagia, kecewa akan dilaluinya. Begitu gagang diputarnya dan masuk ke ruangan itu, ia akan masuk ke sebuah jalan yang berliku dengan sakit yang tiada akhir.


*TBC

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar