Minggu, 13 Juli 2014

TULISAN KERAGUAN


          Rupanya kedamaian yang di titipkan hujan di tiap-tiap sore masa berlakunya berakhir hari ini. Cukup mengesankan bisa bertahan selama dua puluh tujuh hari. Dua puluh tujuh hari setidaknya aku mampu menyimpan rinduku. Rindu pada sebuah kamar yang belum pernah ku tempati. Rindu pada orang-orang yang belum pernah ku jumpai. Rindu pada sebuah tempat yang belum pernah ku singgahi.


          Terasa aneh memang, tapi begitulah adanya. Malam ini aku hanya ingin bercerita tentang aku, yang merasa secara perlahan mulai kehilangan dirinya dan melebur bersama diri asing lainnya di tubuh yang sama. Yang tumbuh seringkali hanya sebagai pendengar sehingga seringkali sulit menyampaikan apa yang sebenarnya ingin di sampaikan. Yang hidup mengamati dan seringkali menjadi bayangan lawan bicaranya. Tak peduli tulisan ini akan dibaca atau tidak, disukai atau menyinggung orang lain. Aku hanya ingin menuangkannya dalam kata-kata. Teruntuk diriku sendiri.
          
          Perihal resah dan rinduku, Duh rasanya kadang ingin ku lupakan saja. Pesimis dan tak bersyukur, rasanya dua hal itu yang sering di ungkapkan orang sekitar tentang kegelisahanku ini. Kadang aku pun bertanya kenapa. Tapi akhir-akhir ini aku terpikir mengenai penyebabnya. Sifat yang experimental dan perfeksionis. Ketidakpuasanku terhadap keadaan yang ada dan ingin mencoba hal baru lainnya. Potensial memang untuk perubahan yang lebih baik, namun juga memiliki sisi buruk tersendiri di mata orang lain jika tidak di kendalikan. Percayalah, jika Thomas A. Edison putus asa sedikit saja, mungkin kita tak bisa membaca buku di malam hari dengan tenangnya seperti saat ini. Butuh manusia tangguh seperti Edison yang tidak pernah merasa puas terhadap tiga ribu kali percobaannya yang gagal. Masya Allah.
          
          Kali ini, tak seperti tahun kemarin, aku telah siap. Dulu tak henti-hentinya aku bertanya bagaimana jika seperti ini, bagaimana jika seperti itu, dan kadang aku lupa ada Sang pemilik jagad raya yang tak terbatas kuasa-Nya. Duh Gusti, rasanya kok dulu aku kerdil sekali mengabaikan kuasa-Mu?  Meski di hati terdalam aku masih memiliki keinginan itu, tapi bukankah Allah adalah sebaik-baik pengatur naskah kehidupan? Usaha sudah dilakukan, doa seringkali ku sandingkan di tiap-tiap waktu terbaik untuk berdoa. Sedikit keresahan ini pun rasanya manusiawi sebagai pertanda kesungguhan niat. Tak peduli lagi dengan bagaimana hasilnya harus di jalani dengan sungguh-sungguh. Pertanda ini jalan terbaik. Tak puas dengan keadaan bukan berarti mengutuki kenyataan, tapi berupaya lebih keras agar terjadi perubahan. Mengutip dari drama To The Beautiful You, katanya “Keajaiban adalah nama lain dari kerja keras”

Jadi tentang bagaimana kelanjutan kisah ini aku akan menunggu konfirmasi Sang Penulis Naskah :)


0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar